Surat Kuasa

    Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam Bab XVI Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), tepatnya pada pasal 1792-1819. menurut pasal 1792, Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa. sebagaimana dengan sifat perjanjian, suatu perjanjian pemberian kuasa dapat dilakukan baik secara tertulis maupun secara lisan. meskipun perjanjian pemberian kuasa dapat dilakukan secara lisan, bahkam secara diam-diam. Namun meskipun dapat dilakukan secara lisan, dalam beberapa hal tertentu, terutama dalam hal pemberian kuasa yang bersifat kusus, suatu surat kuasa diperlukan untuk membuktikan bahwa si Kuasa adalah orang berhak menggantikan si pemberi kuasa dalam melakukan suatu tindakan tertentu. contohnya dalam hal pemberian kuasa kepada debt-collector untuk menagih suatu hutang kepada debitur, maka debt-collector tersebut memerlukan suatu surat kuasa untuk membuktikan bahwa Ia merupakan orang yang berhak menggantikan pemberi kuasa dalam hal menagih suatu utang.

Kewenangan Penerima Kuasa

    si Kuasa (penerima kuasa) berwenang untuk melakukan segala hal sesuai yang tertulis dalam surat kuasa. si Kuasa dilarang melakukan suatu hal yang melampaui kuasa/kewenangannya (pasal 1797 KUHPer). Jika si Kuasa hanya diberikan kuasa untuk menagih suatu hutang, maka si Kuasa tidak berhak untuk melakukan hal lain selain menagih hutang si debitur yang bersangkutan. apabila misalnya si Kuasa tersebut ternyata diam-diam membuat suatu perjanjian baru dengan si berhutang, misalnya perjanjian penangguhan hutang atau perjanjian pengurangan hutang pokok, maka perjanjian yang dilakukan oleh si Kuasa dan debitur tersebut tidak sah dan perjanjian yang dilakukan oleh mereka dianggap tidak pernah ada

Tweet

Subscribe to receive free email updates: